Menjadikan Idul Fitri sebagai Momentum Indonesia Bangkit

(Intisari Khutbah ‘Idul Fithri, Kamis 4 November 2005 M / 1 Syawal 1426 H)

 Oleh : Prof.DR.H. Imam Suprayogo, MA

(Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Malang) 

Menghayati inti ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW dan menyadari persoalan bangsa yang pada saat ini sedang mendapatkan ujian dari Allah SWT serta memperhatikan bagaimana perjuangan Rasulullah dalam membangun masyarakat yang damai dan sejahtera melalui ajaran Islam, maka dalam suasana Idul Fitri ini akan tepat kiranya jika kita gunakan sebagai momentum untuk membangun Indonesia ke depan yang lebih cerah. Akan tetapi, Puasa dan Idul Fitri akan benar-benar berhasil dijadikan sebagai momentum untuk membangun gerakan kebangkitan bangsa ke depan, jika paling tidak ibadah ini melahirkan beberapa hal sebagai berikut : 

Pertama, puasa dan Idul Fitri yang kita rayakan hari ini seyogyanya mampu melahirkan persepsi dan kesadaran yang benar terhadap persoalan bangsa yang sesungguhnya. Persoalan bangsa Indonesia yang kita hadapi sekarang ini sesungguhnya, bukanlah sebatas menyangkut bidang ekonomi atau apalagi sebatas kekurangan sembako, melainkan lebih mendasar dan luas dari sebatas itu. Ada sementara pandangan yang mengatakan bahwa jika masyarakat sudah berhasil memenuhi kebutuhan ekonominya, maka persoalan kehidupan telah selesai.  

Memang membangun ekonomi adalah penting, akan tetapi pemenuhan ekonomi bukanlah segala-galanya. Bangsa yang berperadaban tinggi selalu dibangun di atas dasar keyakinan (iman yang kukuh), jiwa atau spritualitas yang dalam, ilmu yang luas, serta akhlaq yang luhur. Keadaan ekonomi yang kurang baik, di tengah-tengah negeri yang subur seperti Indonesia, sesungguhnya merupakan akibat dari lemahnya iman, spritualitas, keterbatasan ilmu dan akhlaq yang disandangnya. Betapa pentingnya aspek-aspek ini untuk membangun peradaban, maka ayat-ayat Al Qur’an Al-Karim pada fase awal yang diterimakan kepada Rasulullah adalah menyangkut ilmu pengetahuan (yakni dalam bentuk perintah membaca), larangan berbuat angkara murka; dan sebaliknya beliau diperintah untuk membangun akhlaq yang mulia. 

Kedua, Puasa dan Idul Fitri harus mampu membangkitkan jiwa optimisme yang kuat terhadap kehidupan hari esok yang lebih baik. Akhir-akhir, muncul dari kalangan luas rasa pesimisme yang berkelebihan terhadap keadaan negeri ini. Barangkat dari suasana pesimisme itu, bangsa ini dilabeli dengan identitas yang sedemikian rendah, seperti disebutnya sebagai bangsa yang terpuruk, bangsa korup, bangsa yang carut marut, bangsa yang berada pada titik nadir dan istilah-istilah lain yang kurang menguntungkan. Istilah-istilah seperti itu bisa jadi akan melahirkan mental bangsa yang inferior, tidak percaya diri dan selalu berharap pada uluran pertolongan bangsa lain.  Oleh karena itu merendahkan identitas bangsa dengan istilah-istilah seperti itu sesungguhnya tidak menguntungkan, apalagi jika hal itu dikaitkan dengan upaya menumbuh kembangkan kebanggaan anak bangsa yang bermatabat ke depan. Bangsa Indonesia sesungguhnya tidak semalang itu.

Sebaliknya, bangsa Indonesia ini adalah bangsa yang beruntung, memiliki tanah kepulauan yang luas lagi subur, samudera dan lautan yang luas, aneka tambang, serta penduduk berjumlah besar. Semua itu adalah karunia Allah, yang seharusnya selalu disyukuri dan dijadikan modal untuk membangun kemakmuran bersama. Puasa dan Idul Fitri harus mampu menumbuh-kembangkan sikap optimisme itu. 

Ketiga, puasa dan Idul Fitri agar bermakna terhadap upaya menjadikan Indonesia bangkit, harus mampu melahirkan sikap solidaritas sosial atau kemauan berjuang dan berkorban yang tinggi. Membangun bangsa tidak akan berhasil jika tidak terdapat orang-orang yang rela berjuang dan berkorban. Sejarah bangsa ini membuktikan secara jelas tentang hal itu. Indonesia berhasil meraih kemerdekaan dari penjajah, adalah sebagai buah dari adanya kesediaan para pejuang yang ikhlas mengorbankan apa saja yang ada padanya. Demikian pula, Rasulullah Muhammad SAW tidak akan mampu mengubah masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat madani yang damai dan berperadaban jika tidak ditempuh melalui perjuangan dan pengorbanan yang berat. 

Keempat, puasa dan hari raya Idul Fitri, selayaknya melahirkan sifat-sifat profektif, seperti shiddiq, amanah, tabligh dan fathanah. Sifat-sifat itu sangat diperlukan untuk membangun masyarakat yang lebih adil dan maju. Lebih daripada itu, puasa dan Idul Fitri seharusnya berhasil melahirkan suasana batin yang pndai bersyukur, ikhlas, tawakkal dan istiqamah. 

Kelima, hal yang sangat penting lainnya adalah melalui puasa dan Idul Fitri ini mampu melahirkan pandangan tentang betapa pentingnya posisi pendidikan dalam membangun bangsa ke depan. Selanjutnya, berbicara tentang pendidikan, tidak lepas dari peran-peran strategis wanita di tengah-tengah masyarakat. Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa sebuah bangsa akan baik jika para wanitanya mampu memposisikan diri secara benar dan tepat, yakni sebagai pendidik bangsa. “Seorang ibu adalah laksana sebuah sekolah, jika engkau mempersiapkannya dengan baik, berarti engkau mempersiapkan suatu bangsa yang tangguh dan kukuh”. Jika cara pandang dan nilai-nilai puasa dan Idul Fitri ini berhasil ditumbuh-kembangkan, setidak-tidaknya oleh kita yang baru menjalankan ibadah ini, maka insya Allah akan berdampak pada kehidupan masyarakat secara luas. Selanjutnya, gerakan uswah hasanah sebagai pendekatan strategis  yang telah dipilih oleh Rasulullah, seharusnya dapat dikembangkan untuk membangun bangsa ini. 

Sebagai contoh sederhana, misalnya dalam bidang ekonomi, bagaimana masyarakat bawah, diberikan contoh atau bimbingan, agar bisa bekerja secara aman dari ancaman pesaing-pesaing yang tidak seimbang kekuatannya; untuk mengembangkan pertanian diberikan uswah hasanah bagaimana tanah yang kosong segera ditanami kembali; begitu pula bagaimana hutan yang telah gundul dan sudah terlanjur mengakibatkan sungai-sungai mengering dapat segera dilebatkan kembali.  Bagaimana para buruh berhasil mendapatkan pekerjaan yang imbalannya seimbang dengan keringat yang dikeluarkannya. Ini semua dapat dilakukan, jika jiwa besar dan ruh kebersamaan dalam berbangsa dan bernegara berhasil ditumbuhkan dan diperkukuh.  

Tinggalkan komentar